Jumat, 13 April 2012

Mengembangkan Koperasi

Banyak sudah program-program prestisius pengembangan koperasi. Koperasi juga tak kunjung selesai dibicarakan, didiskusikan, “direkayasa”, diupayakan pemberdayaan dan penguatannya. Pendekatan yang dilakukan mulai dari akademis (penelitian, pelatihan, seminar-seminar, sosialisasi teknologi), pemberdayaan (akses pembiayaan, peluang usaha, kemitraan, pemasaran, dll), regulatif (legislasi dan perundang-undangan), kebijakan publik (pembentukan kementrian khusus di pemerintahan pusat sampai dinas di kota/kabupaten, pembentukan lembaga-lembaga profesi), sosiologis (pendampingan formal dan informal), behavior (perubahan perilaku usaha, profesionalisme) bahkan sampai pada pendekatan sinergis-konstruktif (program nasional Jaring Pengaman Nasional, pengentasan kemiskinan, Pembentukan Lembaga Penjaminan, Pembentukan Dekopin dari daerah sampai nasional).

Tetapi ternyata, seluruh ”treatment” tersebut sebenarnya tidak menyelesaikan beberapa masalah mendasar koperasi. Pertama, seperti diungkapkan Soetrisno (2002) bahwa ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan tiga pola penitipan kepada program, yaitu pembangunan sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (2) lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; serta (3) perusahaan negara maupun swasta berbentuk koperasi karyawan. Tiga pola tersebut menurut beliau berakibat prakarsa mayarakat kurang berkembang, kalaupun muncul tidak diberi tempat sebagai mana mestinya.

Masalah kedua, koperasi, lanjut Soetrisno (2002) juga dikembangkan untuk mendukung program pemerintah berbasis sektor primer dan distrubusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia[5]. Ketika program tersebut gagal, maka koperasi harus memikul beban kegagalan program. Sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk peneliti dan media massa. Dalam pandangan pengamat internasional (Sharma 1992), Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara terbatas seperti disektor pertanian.

Ketiga, masalah mendasar koperasi berkenaan prinsip dasar ekonomi. Hatta (1947, 56) menjelaskan bahwa rantai ekonomi, memiliki tiga rantai utama, yaitu perniagaan mengumpulkan, perantaraan dan membagikan[6]. Ketika sistem ekonomi hanya berputar pada kepentingan perdagangan dan menegasikan kepentingan perniagaan pengumpulan maupun membagikan, maka yang terjadi adalah penumpukan kekayaan pada titik perniagaan perantaraan (intermediasi) dan permainan harga yang dominan. Dampaknya adalah reduksi kepentingan produsen, konsumen, bahkan alam. Bentuk Ekonomi versi Hatta tersebut, kita sebut saja Ekonomi Natural, sebenarnya mengingatkan kita bahwa ekonomi jangan hanya dijalankan dengan menekankan mekanisme perdagangan (intermediasi), dan menganaktirikan produksi (seperti bertani, pertambangan, berkebun, kerajinan, dan lainnya) serta retail (berdagang eceran). Ekonomi Natural dengan demikian merupakan ekonomi produktif, intermediasi, sekaligus pertukaran untuk keseimbangan individu, masyarakat, alam dan akuntabilitas kepada Allah SWT.

Keempat, data perkoperasian Indonesia sampai tahun 2006, dijelaskan Jauhari (2006) didominasi oleh Koperasi Fungsional, seperti koperasi karyawan, koperasi pegawai dan lainnya yang dibentuk dalam lingkungan institusi tertentu baik pemerintah maupun swasta. Koperasi seperti itu jelas membatasi keanggotaan dan memiliki sifat stelsel pasif. Biasanya koperasi fungsional merupakan bentuk ekonomi intermediasi untuk memenuhi kebutuhan anggota, seperti swalayan, klinik, praktik dokter bersama, dan lain-lain. Koperasi fungsional seperti ini juga memiliki sifat subordinasi. Misal koperasi karyawan PLN dan AKLI, tujuannya memenuhi kebutuhan penyediaan bahan-bahan produksi PLN. Bahkan menurut Jauhari (2006) bentuk koperasi fungsional sangat mungkin bertentangan dengan tiga prinsip ICA. Prinsip Pertama, yaitu keanggotaan sukarela dan terbuka. Kedua, Prinsip Kedua, yaitu kontrol anggota yang demokratis. Ketiga, Prinsip Keempat, yaitu otonomi dan independen.

Kelima, dari sudut bisnis, keempat masalah koperasi di atas berdampak pada hilangnya sense untuk melakukan identifikasi apa yang disebut Prahalad dan Hamel (1990) sebagai kompetensi inti (core competencies). Bisnis koperasi selama ini tidak dapat mengidentifikasi keunikan dirinya. Koperasi – akibat kemanjaan dan intervensi – hanya dapat melakukan identifikasi core product. Padahal bila dilihat dari konsep bisnis, core competencies merupakan “jantung” organisasi atau perusahaan, sedangkan produk merupakan implementasi dari core competencies tersebut untuk menghasilkan nilai tambah organisasi bisnis. Core competencies perlu didesain melalui kejelasan visi dan misi organisasi. Sehingga konsekuensi logisnya pengembangan kompetensi bisnis, produk sampai sumber daya yang muncul mengarah pada core competencies.

Bedasarkan permasalahan tersebut di atas, aktivitas bisnis koperasi harus memiliki kreasi pemberdayaannya sendiri, otonom-independen, sesuai mekanisme naturalitas ekonominya, dan memiliki core competence-nya sendiri. Namun demikian, Idealisme koperasi harus tetap dikedepankan sebagai salah satu pemicu semangat agar koperasi tetap memiliki ruh perjuangan ekonomi rakyat. Selain itu koperasi harus tetap sesuai jati dirinya sendiri. Seperti ungkapan mayoritas anggota International Co-operation Association (ICA) bahwa koperasi akan menjadi yang terbaik bila mereka menjadi dirinya sendiri. (penulis : Bunyamin)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes